Sabtu, 01 Desember 2007

TAMBORA: AMAZING MOUNTAIN - Madu, Arbei, dan Air Putih Tersegar di Dunia (bagian kedua)

Pagi-pagi benar kami memasak untuk sarapan. Setelah sarapan, kami segera packing barang-barang. Lumayan lah lebih enteng dibanding sebelumnya. Karena sebagian sudah dimanfaatkan untuk acara di basecamp. Setelah itu kami bersiap-siap longmarch menuju puncak Tambora. Sebelum berangkat longmarch, kami mendapat pengarahan dari Achdiyat. Gambaran perjalan kami adalah perjalanan ke Pos I diperkirakan selama 3 jam, kemudian menuju Pos II selama 3 jam dari Pos I, dan perjalanan selama 3 jam juga dari Pos II ke Pos III. Ada 5 Pos yang harus kami lalui sebelum puncak. Kami diminta hati-hati karena Gunung Tambora terkenal akan pacet dan pohon Jelateng. Sebagian orang menyebutnya Kemaduh. Pohon Jelateng ini daun dan batangnya terdapat bulu-bulu halus yang apabila terkena kulit akan terasa gatal dan panas. Diberitahukan juga bahwa setiap pos ada sumber air bersih. Untuk mengurangi beban berat, aku membawa satu botol kecil yang aku taruh di saku celana dan satu botol besar di dalam tas. Kalau di Gunung Rinjani, bekal air sebanyak itu tidaklah cukup.

Kira-kira pukul 07.30 Wita kami berangkat. Dengan dipandu Om Beck di depan dan anaknya di belakang, kami berjalan beriringan. Kami terkesan begitu masuk hutan, karena terasa masih rimbun dan asri. Wah, bahaya juga kalau jalan setapak saja tidak kelihatan. Kami sempat tersesat beberapa meter. Ternyata Om Beck lupa dengan jalur yang dibuatnya sendiri. Katanya, ada orang lain yang merubahnya. Untung anaknya langsung mengingatkan. Tak lama setelah itu, kami keluar dari ‘hutan’ dan menemui jalan yang bisa dilalui oleh truk. Kami menjumpai bapak-bapak di sebuah rumah. Bapak itu memberikan kami secangkir madu asli untuk diminum. Dengan senang hati sebagian dari kami menyeruput madu itu. Lumayan untuk tenaga sebelum naik gunung. Aku kira rumah itu Pos I, ternyata salah. Rumah itu adalah tempat menampung air bersih dari gunung yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Kami istirahat sebentar di rumah air itu. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Pos I. Medannya tidak sesulit Gunung Rinjani yang langsung menanjak terus. Kami kadang melalui jalan yang datar atau menurun walau sebentar, tapi lumayan untuk menstabilkan nafas yang kembang kempis dan kaki yang pegal-pegal. Tiba-tiba perutku terasa sakit. Wah, ini pasti reaksi dari madu tadi. Kalau madu murni emang gini, langsung bereaksi. Setelah menunaikan ‘hajat’, rasanya lebih segar. Mungkin saja racun-racun di tubuhku kalah sama reaksi madu yang aku minum tadi.

Kira-kira pukul 09.30 akhirnya kami sampai di Pos I. Rasanya senang sekali. Waktunya lebih cepat dari perkiraan semula. Kami istirahat sejenak dan mengambil air bersih di Pos I. Air di Pos I berasal dari mata air yang menyembul dari bawah tanah. Oleh penduduk, mata air itu dibuatkan bak kira-kira setinggi 1 meter dan dibuat pipa yang dialirkan menuju perkampungan penduduk. Aku mengambil langsung air yang menyembul yang sudah difasilitasi sebuah pipa. Kemudian aku minum, rasanya segar sekali. Botol kecilku aku penuhi. Setelah aku tutup, terlihat gelembung-gelembung kecil di dalam botol itu, yang aku yakini bahwa kandungan O2 di air itu sangat banyak. Hal ini tentu saja akan membuat kita terasa segar apabila meminumnya. Karena O2 yang terkandung di dalam air itu akan bercampur dengan darah kita. Apabila darah kita banyak mengandung O2, maka kita akan terasa segar. Aku bayangkan seandainya air seperti ini dijual di kota-kota besar, tentu harganya mahal. Dan benar saja, entah karena sugesti, aku terasa segar dan lebih enak ketika berjalan meninggalkan Pos I menuju Pos II. Yang mengasyikkan dalam perjalanan ini, sepanjang jalan ditumbuhi semak-semak pohon arbei. Meski lebih sering dapet yang masam dan mengambilnya agak sulit karena tangkainya berduri seperti tangkai mawar, tapi sangat menyenangkan ketika berhasil mengambil dan memakannya. Warna buahnya yang merah seakan memberikan kemudahan bagi kami untuk mencarinya diantara rerimbunan semak-semak. Kami saling berebut buah arbei, kadang kami juga saling berbagi. Sungguh mengasyikkan.

Kira-kira pukul 12.00 kami tiba di Pos II dan bertemu dengan rombongan pendaki lainnya yang sudah berangkat mendaki sejak kemarin. Sepertinya mereka menginap disini. Kami istirahat, makan, dan sholat di sini. Terdapat sungai yang mengalir di bawah Pos II. Banyak aktivitas yang dilakukan peserta di sini. Ada yang mandi, sekedar mengambil air, BAB dan BAK. Tentu saja tempat melakukan aktivitas diatur. Paling hulu tempat mengambil air, kemudian tempat berwudhu, tempat mandi dan gosok gigi, dan paling bawah tempat BAB dan BAK. Kira-kira hampir 2 jam kita beraktivitas di Pos II. Lumayan untuk menyegarkan badan.

Tepat jam 13.30 pimpinan rombongan ngasih tanda agar kami siap-siap. Hampir jam 14.00 semua bergerak. Setelah melewati sungai kecil yang ada di pos II, jalan yang harus kami lalui cukup terjal dan licin. Licin karena tanahnya agak gembur dan basah. Hutan yang kami lalui cukup lebat. Banyak tanaman rotan dan sulur-sulur. Malah kami melewati jalan yang diatasnya pepohonan yang menyatu membentuk goa. Tanaman khas puncak gunung sudah mulai terlihat. Aku sebenarnya mengira jangan-jangan sudah mau sampai puncak gunung. Dan tanaman jelateng yang dikatakan Achdiyat di basecamp tadi juga belum terlihat banyak. Aku juga bertanya tanya dalam hati, dimana bisa terlihat puncak gunung Tambora? Yang penting berjalan, berjalan, dan berjalan. Aku sudah sangat letih. Ini disebabkan pantat saya sakit. Entah kenapa aku tidak tahu. Mungkin karena gesekan di selangkangan kaki. Beberapa temen juga keletihan, dan ada yang mulai sakit masuk angin.

Tak terasa kira-kira jam 17.00 kami sampai di Pos III. Nah, itu dia puncaknya! Oh ternyata bukan puncak yang sebenarnya. Tapi pinggir kawahnya. Puncaknya tentu saja belum terlihat. Sudah mulai kelihatan. Ya, Gunung Tambora yang ingin sekali aku memandangnya sejak di Dompu kemarin akhirnya terlihat juga. Aku tersenyum sendiri, untuk memandang gunung Tambora butuh sehari pendakian. Di bawah rerimbunan pohon yang besar dan hembusan angin sepoi-sepoi kami istirahat. Di sana ada berugaq atau saung atau gubuk atau entah apa namanya dalam bahasa Dompu. Dan para pendaki sudah penuh sesak beristirahat di sana. Rata-rata mereka mendirikan tenda. Ya, mereka adalah pendaki yang kami temui di basecamp dua hari yang lalu yang berangkat naik menuju puncak. Kami istirahat cukup lama. Persediaan air sudah menipis. Memang kata panitia di setiap pos ada air. Tapi mata air terdekat di pos III ini sudah keruh. Kata Om Beck, kalau banyak orang begini mereka kadang tanpa aturan ketika mengambil air. Aku mengurungkan niatku mengambil air. Kami berbincang- bincang dengan sesama pendaki. Tampak temenku yang orang Dompu asli Buhri Ramadhan berbincang-bincang dengan beberapa pendaki. Sepertinya mereka para pemimpin rombongan pendaki. Ketika menjelang maghrib, beberapa pendaki berangkat menuju Pos IV. Mereka akan nge-camp di sana. Beberapa dari kami sudah sangat lelah dan tak inigin meneruskan perjalanan sampai puncak. Yang sakit langsung istirahat membuat bivak dan istirahat di atas matras. Setelah sholat maghrib yang dijama’ qosor sholat Isya, kami membaca ma’tsurat bersama-sama. Ada juga yang tidak ikut karena benar-benar tidak kuat lagi berjalan naik. Yang semula mau berangkat jam 02.00, dimajukan jam 00.00. Sebagian besar dari kami istirahat tidur cukup lama, dan jam 23.00 lebih kami dibangunkan oleh Achdiyat. Barang bawaan kami ditinggal di pos III. Kami hanya membawa minuman dan beberapa snack.bersambung

Selasa, 20 November 2007

TAMBORA: AMAZING MOUNTAIN (bag.pertama)


Go To Desa Pancasila

Berangkat ke Dompu hari sabtu tanggal 13 Agustus 2005 jam 09.15. Harusnya ngumpul jam 08.00. Tapi aku salah informasi berangkat sore harinya. Jadi aku masih santai-santai, paginya malah nganter istri tercinta nengok temannya yang lagi KKN di Desa Karang Pule, desa dimana banyak korban busung lapar. Dengan tergopoh gopoh aku nyusul teman-teman yang sudah nunggu di terminal Bertais. Untung aja busnya berhasil aku temukan setelah lama mencari. Banyak yang ketinggalan barang-barang yang seharusnya aku bawa. Peralatan mandi, ponco, sandal gunung, dan yang paling bikin menyesal di kemudian hari, tidak bawa kamera. Padahal udah disiapin, tinggal ngambil Kamera Digital Canon Powershot S410 di tempat kakakku di Pejeruk. Sebenarnya kepikiran mau bawa kamera SLR Canon EF kesayanganku, tapi aku urungkan karena besar dan harus hati-hati ketika membawa.Tidak sempat, keburu ditunggu teman-teman, karena aku cuma dikasih waktu 30 menit untuk sampai terminal Bertais. Padahal aku belum packing. Akhirnya packing seadanya dengan benjolan berat di tas sana sini….

Vivon Sayang, itulah nama bus yang akan membawaku dan teman-teman ke Dompu. Dalam bayanganku busnya full AC, recleaning seat, pokoknya executive class lah! Kursi tetap recleaning seat meski rusak, pendinginnya pakai AC juga tapi Angin Cendela. Baru sampai Narmada, bus sempat mogok tepat di depan Pasar Keru. Jalan macet tak terhindari. Alhamdulillah akhirnya setelah didorong oleh orang-orang pasar, akhirnya bisa jalan juga. Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Ketika di kapal ferry dalam perjalanan menuju Poto Tano, kami bertemu seseorang dari Lotim. Beberapa rombongan kami kenal sama dia. Aku dan teman-teman dikasih buah anggur. Lumayan lah buat ganjal perut yang sudah mengalunkan irama keroncongan karena belum makan sejak tadi pagi.

Sampai di Sumbawa Besar kami makan siang. Lagi-lagi bus mogok di halaman rumah makan tempat kami istirahat. Penumpang semuanya gelisah. Meskipun kami was-was, kami tetap ceria. Itulah yang aku sukai dari ikhwah. Meski sebenarnya susah, tetap ceria. Aku berfikir seandainya itu terjadi pada diriku pada perjalanan sendiri tanpa ada teman, wah pasti perasaanku gelisah dan kesal menjadi satu. Akhirnya kami charter bus kecil. Bus yang punya kapasitas 20-an orang diisi 30-an. Bejubel! Tapi kita tetap ceria, bahkan diantaranya itsar (mendahulukan kepentingan untuk saudara yang lain) sama ikhwah (sodara) lain untuk duduk. Bahkan tetap ceria pada saat bus yang kami tumpangi pecah ban kira-kira di daerah Empang, Sumbawa Besar. Subhanallah, indahnya ukhuwwah…
Kami sampai di Dompu sekitar jam 01.00 tanggal 14 November 2005 langsung ke tempat Pak Henry, shelter kami di Kota Dompu.

Dunia Mas, itu nama mini bus yang membawa kami ke lereng Gunung Tambora. Dunia Mas memang mempunyai trayek Dompu-Calabai. Perjalanan yang luar biasa. Karena kami menyusuri pantai yang kondisinya panas dan kering, jalan kerikil dan batu dengan aspal hancur, melewati padang savana yang rumputnya kering yang ditumbuhi pohon Bidara yang mendominasinya. Melihatnya saja sudah terasa panas, nggak kebayang deh kalau berada di tengah-tengahnya. Kata Pak Darwis (Bima), seandainya jalan yang kami lalui itu bagus, mungkin sudah seperti Texas di Amerika dengan Cowboy-nya. Terbayang beratnya cobaan Bilal bin Rabah ra. Ketika disiksa di padang pasir panas karena mempertahankan Aqidahnya. Jadi, rasa panas yang mendera tubuh kami belum seberapa apabila dibandingkan para sahabat Rasul.

Sekitar jam 14.00 kami sampai di Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat. Kesan kami memang nama yang Nasionalis dan sangat Orde Baru. Malah ada masjid yang namanya ‘Qubul Wathon’. Mungkin saja maksudnya Hubbul Wathon. Nah loh, artinya jadi beda jauh….

Mengenal Tambora
Okey, kita cari tahu dulu tentang Aktivitas gunung dengan ketinggian 2850 m dpl ini. Tanda-tanda Gunung Tambora akan meletus sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1812. Dan akhirnya, tanggal 10 April 1815 Gunung Tambora meletus hebat. Letusannya mengeluarkan lebih dari 100 km3 magma dan menewaskan 92.000 orang. Dan secara tidak langsung menyebabkan 82.000 orang meninggal karena penyakit menular dan kelaparan. Aerosol yang dikeluarkan mampu menutupi Sinar Matahari dan menyebabkan penurunan temperature global seluruh dunia sebesar 3 derajat Celcius. Hal ini menyebabkan pada tahun 1816 benua Eropa tidak mengalami musim panas, dan para petani di India gagal panen. Hujan Abu setebal 1 cm terjadi hingga Jawa Tengah dan Kalimantan. Meletusnya Gunung Tambora juga menyebabkan gelombang Tsunami setinggi 10 m yang menewaskan sekitar 10.000 orang. Sebelum meletus, ketinggian Gunung ini diperkirakan 4.000 m dpl. Akibat letusan, diameter kawah menjadi lebih dari 6 km dan kedalaman kawah 1110 m. Lihat saja daftar Volcano Explosivity Index (VEI) di web ini: www.volcanolive.com/tambora.html; http://volcano.und.nodak.edu/vwdocs/volc_images/southeast_asia/indonesia/tambora.html).

Om Beck, begitu dia dipanggil sama orang-orang. Nama aslinya Bakri. Seorang Bapak dengan 7 anak. Menurut pengakuannya, berdasarkan diary-nya, sejak tahun 1982-2005 dia sudah mendaki Gunung Tambora sebanyak 680 kali. Wow!

Setelah sholat dzuhur dan asar yang dijamak qoshor, beberapa dari kami mampir ke rumah Om Beck. Ternyata Om Beck masih ingat sama Achdiyat yang pernah mendaki G.Tambora pada tahun 1998 dan 2000. Om Beck menunjukkan peta perjalanan menuju puncak Gunung Tambora yang dimulai dari Desa Pancasila. Peta dari tulisan tangan itu cukup memberi semangat untukku. Yang terbayang selumnya sebenarnya adalah Gunung Tambora itu Gunung yang jarang didaki, sehingga perkiraanku medannya sangat sulit dan hutannya jarang dijamah. Yang membuat aku agak grogi ketika mendengar penjelasan bahwa perjalanan dari Desa Pancasila sampai Pos III kira-kira butuh waktu dari jam 06.00 sampai jam 16.00 atau 10 jam perjalanan normal. Padahal masih ada hingga Pos V dan puncak kira-kira butuh waktu 6 jam lagi. Rasa kekhawatiranku segera aku usir jauh-jauh, luruskan niat ... Allahu Akbar!

Dari Desa Pancasila kami menuju Base Camp dengan jalan kaki. Sepanjang jalan menuju basecamp, kami melihat pemandangan yang cukup mengenaskan. Hutan-hutan gundul dan lahan hutan yang dibakar mungkin akan dijadikan lahan pertanian. Entah perusahaan pemegang HPH disana memperhatikan kelestarian alam atau tidak, yang jelas kami melihat kejahatan yang dilakukan manusia dengan merusak hutan. Ya, merusak hutan. Titik. Debu-debu berhamburan mengiringi langkah kaki kami. Meski ngos-ngosan, kami tetap semangat untuk menuju base camp. Sungguh, tak terasa waktu sangat cepat menghantarkan kami menuju basecamp.



bersambung…

Senin, 19 November 2007

Gili Nanggu, near Lombok Island







Aku termangu di Gili Nanggu...
di bawah payung langit yang kelabu..
Setelah bercengkerama dengan ikan kerapu...
Di dalam laut yang biru...


Ciptaan-Nya sungguh sempurna...
Kegembiraanku tiada terkira...
Saat bercengkerama dengannya...
Di laut yang indah bak hamparan surga...



Gili Nanggu, laut dengan pasir putih yang lembut bak tepung terigu. Satu setengah jam dari Kota Mataram. Di sana bisa snorkeling dan bercengkara dengan ikan-ikan dengan keindahan terumbu karangnya yang luar biasa. Hutan di pulau itu sangat indah. Cukup setengah jam berkeliling pulau itu untuk menikmati keindahannya yang luar biasa. Don't miss it!

Sabtu, 10 November 2007

Once Upon A Time in Jerusalem

Pada abad ke-7 sampai dengan kehadiran kolonialisme Inggris abad ke-19, Negeri Sham terdiri dari wilayah Palestina, Jordania, dan Suriah. Setelah Perang Yarmuk , pasukan induk Muslim di bawah pimpinan Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid bergerak ke bagian utara negeri Sham. Sementara itu beberapa kontingen muslim pimpinan Amr Bin Ash dan Shurahbil tetap bertahan di wilayah selatan Sham, yaitu meliputi Palestina dan Jordania.

Artabunus, gubernur kekaisaran Romawi Timur, Bizantium menghimpun kekuatan kembali di Ajnadin dan melancarkan serangan balasan untuk mengusir pasukan Muslim dari Suriah. Pertempuran berlangsung sengit hingga penghujung tahun 636 M, dan pasukan Romawi Timur berhasil dikalahkan. Artabunus dan sisa-sisa pasukannya melarikan diri ke Jerusalem.

Setelah kemenangan di Ajnadin, satu per satu kota di Jordania dan Palestina jatuh ke tangan pasukan Muslim. Kemenangan ini memuluskan langkah menuju ke Jerusalem. Kota yang oleh kaum Kristen dan Yahudi ini dipertahankan dengan sangat kuat. Sistem pertahanan kota Jerusalem dirancang agar menimbulkan kerugian sebesar-besarnya kepada pihak penyerang. Dinding yang kuat, parit-parit yang dalam dan terjal, serta minyak panas yang sewaktu-waktu dapat ditumpahkan di parit tersebut. Musim dingin yang menggigit di awal tahun 637 M menjadi faktor kesulitan lain pasikan muslim. Tapi pengepungan Kota Jerusalem tetap berlanjut.

Amr bin al-Ash sebagai panglima pasukan muslim wilayah selatan menulis sepucuk surat untuk meminta bantuan panglima Abu Ubaidah di Suriah. Seluruh wilayah Suriah telah dikuasai pasukan muslim. Sehingga memungkinkan mengirim kontingen untuk membantu wilayah selatan.

Hati penduduk Jerusalem ciut. Mereka sadar tidak akan bisa berlama-lama menahan kekuatan pasukan muslim. Sebenarnya pasukan muslim juga enggan menumpahkan darah di kota suci itu. Patriarch Jerusalem, Uskup Agung Sophronius, meminta untuk berdamai. Hal ini disambut oleh panglima Amr bin al-Ash. Uskup Agung Sophronius hanya mau menyerahkan kunci kota Jerusalem (sebagai simbol jatuhnya kota Jerusalem ke pasukan muslim) kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. Langsung secara pribadi.

Penduduk Jerusalem belum dapat melupakan apa yang dilakukan tentara Persia ketika mereka merebut kota suci itu dua dasawarsa sebelumnya. Yang terjadi adalah perampokan, pembantaian, dan penistaan tempat-tempat suci yang ada. Para pemimpin Kristen di Jerusalem meyakini bahwa pasukan muslim berbeda. Sesuai perintah Rasulullah SAW yang diteruskan khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, pasukan muslim selama berperang diharamkan membunuh para rahib, orang-tua, wanita, anak-anak, dan orang-orang non-kombatan lain yang bersikap damai.Termasuk dilarang menebang pepohonan, membunuh ternak dan merusak ladang, dilarang menghancurkan gereja, merusak rumah dan fasilitas umum. Tetapi tetap ada kekhawatiran di dalam benak mereka. Karena itu Uskup Agung Sophronius memilih perjanjian ditandatangani oleh Amirul-Mukminin langsung daripada ditandatangani panglima setempat.

Panglima Abu Ubaidah meneruskan permintaan itu kepada Khalifah Umar bin Khattab ra. di Madinah. Khalifah langsung menggelar rapat Majelis Syuro untuk mendapatkan nasehat dari mereka. Menurut Usman bin Affan ra., Khalifah tidak perlu memenuhi permintaan itu toh pasukan Romawi Timur yang sudah kalah itu akan menyerah dengan sendirinya. Ali bin Abi Thalib ra. berpendapat lain. Sebaiknya Khalifah tetap memenuhi permintaan mereka. Kota Jerusalem yang merupakan kota suci kaum muslimin, juga kota suci bagi kaum Kristen dan Yahudi. Selain itu, Jerusalem adalah kota tempat kiblat pertama kaum muslimin, tempat persinggahan Rasulullah SAW waktu Isra’ Mi’raj, juga kota yang merupakan saksi hadirnya para nabi, seperti Daud, Sulaiman, dan Isa. Atas argumen itu Khalifah Umar bin Khattab ra. memutuskan menerima nasehat Ali ra.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. menugaskan Ali ra. sebgai wakilnya di Madinah selama ia meninggalkan kota tersebut. Khalifah berangkat ke Jerusalem hanya disertai dua makhluk, yaitu seorang pelayan dan seekor unta, yang ditungganginya secara bergantian. Tatkala tiba di desa Jabiah, dimana para panglima dan komandan pasukan muslim menantikan Khalifah Umar, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan memohon agar khalifah tetap yang menunggang unta. Tapi khalifah menolak, karena giliran Khalifah yang berjalan kaki. Masyarakat Jabiah menyaksikan pemandangan ganjil yang belum pernah terjadi. Ada pelayan yang duduk di atas unta sementara Khalifah berjalan kaki dengan mengenakan pakaian yang sederhana, dari kain bahan kasar, serta nampak lusuh dan berdebu karena perjalanan jauh. Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang sederhana, sedangkan Yazid bin Abu Sufyan dan Khalid bin Walid mengenakan pakaian yang bagus.

Setelah pertemuan dengan panglima wilayah Suriah selesai, seorang utusan kaum Kristen dari Jerusalem menghadap Khalifah Umar, dan merumuskan sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Aelia (nama lain dari Jerusalem). Berdasarkan perjanjian itu, Khalifah Umar memberikan jaminan keamanan atas nyawa dan harta benda segenap penduduk Jerusalem. Juga keselamatan gereja dan tempat-tempat suci lainnya. Sebaliknya, penduduk Jerusalem diwajibkan membayar jizyah (pajak bagi kaum non-muslim). Bagi penduduk yang tidak setuju diberi kesempatan meninggalkan kota suci itu dan membawa harta bendanya secara damai. Selain itu juga ditetapkan tidak diizinkannya kaum Yahudi bertempat tinggal di kota suci itu.

Setelah perjanjian itu berhasil dirumuskan dan ditandatangani, Khalifah Umar melanjutkan perjalannya menuju kota Jerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya musafir biasa. Tidak ada pengawal yang menyertainya. Ia menunggang kuda yang tak terlalu bagus, dan menolak menukar dengan yang lebih pantas.Pakaiannya bukanlah pakaian yang bagus ala pembesar kerajaan, tetapi pakaian bebahan kasar seperti orang arab kebanyakan. Ia menolak untuk menukar dengan pakaian yang bagus, karena ia mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat Iman dan Islam, bukan karena pakaian yang dikenakan.

Di gerbang kota Jerusalem, Uskup Agung Sophronius menyambut dengan didampingi para pemimpin gereja, pemuka kota, dan para komandan pasukan Muslim. Kebanyakan dari mereka berpakaian yang berkilauan untuk menyambut tamu agung. Uskup Agung Sophronius terkagum-kagum dengan kederhanaan Khalifah Umar, seraya berkata, “Sesungguhnya Islam mengungguli agama mana pun”.

Kemudian dalam suatu upacara di depan Makam Suci Jesus (Church of Holy Sepulcher), Uskup Agung Sophronius menyerahkan kunci kota Jerusalem sebagai symbol diserahkannya Kota Jerusalem kepada pemerintahan muslim. Kejadian ini berlangsung 5 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. Kemudian Uskup Agung Sophronius mempersilakan Khalifah Umar untuk melakukan Sholat di dalam Gereja Makam Suci itu. Tetapi hal ini ditolak oleh Khalifah Umar dengan alasan di masa yang akan datang menjadi preseden bagi kaum muslim untuk mengubah gereja menjadi masjid. Kemudian beliau dibawa pada suatu tempat dimana Nabi Daud as. konon biasa melakukan sembahyang. Orang-orang Romawi Byzantium yang menyaksikan mereka Sholat berucap bahwa orang-orang yang taat pada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa. Uskup Agung Sophronius berkata, “saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik”

Khalifah Umar tinggal beberapa hari di Jerusalem untuk memberi saran dalam penyusunan administrasi pemerintahan dan hal-hal yang menyangkut orang banyak. Selain itu beliau juga mendirikan sebuah masjid. Pada saat pertama kali akan dibangun, Bilal bin Rabah diminta untuk mengumandangkan adzan sebagaimana ia melakukannya saat rasulullah masih hidup. Bilal berhenti mengumandangkan adzan setelah Rasulullah SAW wafat. Seluruh yang mendengarnya terharu teringat zaman bersama Rasulullah dahulu. Adzan Bilal bib Rabah sebagai tanda era baru di Palestina telah menyingsing.

Penduduk Jerusalem yang mayoritas beragama Kristen pun pelan-pelan berubah menjadi Islam sebagai agama mayoritas di Kota itu, seiring kedamaian dan keadilan yang menyertai pemerintah muslim.

Sumber: Mengapa Barat Memfitnah Islam karya Z.A. Maulani.

Jumat, 26 Oktober 2007

Mengapa Harus Menulis

Untuk memulai blog pertama saya di internet, pertanyaan pertama adalah: Saya mau nulis apa? Sejak anak saya opname di RS.Karyadi Semarang pada awal Juli lalu, saya kesulitan kalau mau nulis sesuatu. Padahal saya biasa nulis di blog intranet kantor saya.

Dulu jaman kuliah, kalo nulis surat aja bisa berhalaman-halaman. Mungkin dulu belum populer sms, jadi lagunya The Beatles "Mr.Postman" sangat relevan... Aktivitas di kampus, mumetnya mata kuliah di kampus, dlll semua tertuang di surat. Kalau udah nulis, rasanya plong....

Semoga awal tulisan ini bisa mengembalikan rasa nikmat saya ketika menulis sesuatu seperti dulu.

Kamis, 25 Oktober 2007

Bisa Ngumpul Komplet setelah 32 tahun




Akhirnya... Keluarga Sukemi bisa ngumpul komplet pas lebaran kemarin. Kami 5 bersaudara dan semua sudah berkeluarga. Tempat tinggal kami jauh dengan tempat tinggal Bapak Ibu kami di Klaten, yang juga tanah kelahiran kami. Setiap tahun selalu saja tidak bisa ngumpul 100%. Bahkan ketika saya dan saudara-saudara saya menikah, tidak bisa ngumpul juga. Shift-shiftan...

Alhamdulillah setelah foto bersama terakhir tahun 1985 pas tamasya di Waduk Gajah Mungkur, kami bisa berfoto bersama pada tanggal 18 Oktober kemarin...

Kebahagiaan kami juga dirayakan dengan makan bareng di warung makan Pak Min Sop. Pak Min dulu jualan di dalem pasar Klaten dan beliau sudah meninggal. Tapi beliau mewarikan keahliannya kepada anak-anaknya hingga bisa buka 5 cabang di tempat yang berbeda. Warung ini adalah langganan keluarga kami sejak puluhan tahun yang lalu.

Kata kakakku, orang yang paling berbahagia pada hari itu adalah bapak ibu.Sehari-hari bapak ibu cuman berdua, jauh dari kelima anknya yang nyebar di Bogor, Tangerang, Bandung, dan Semarang. Dan tentu saja kami juga sangat bahagia pada hari itu.... Ah, semoga hari itu terulang lagi....