Sabtu, 01 Desember 2007

TAMBORA: AMAZING MOUNTAIN - Madu, Arbei, dan Air Putih Tersegar di Dunia (bagian kedua)

Pagi-pagi benar kami memasak untuk sarapan. Setelah sarapan, kami segera packing barang-barang. Lumayan lah lebih enteng dibanding sebelumnya. Karena sebagian sudah dimanfaatkan untuk acara di basecamp. Setelah itu kami bersiap-siap longmarch menuju puncak Tambora. Sebelum berangkat longmarch, kami mendapat pengarahan dari Achdiyat. Gambaran perjalan kami adalah perjalanan ke Pos I diperkirakan selama 3 jam, kemudian menuju Pos II selama 3 jam dari Pos I, dan perjalanan selama 3 jam juga dari Pos II ke Pos III. Ada 5 Pos yang harus kami lalui sebelum puncak. Kami diminta hati-hati karena Gunung Tambora terkenal akan pacet dan pohon Jelateng. Sebagian orang menyebutnya Kemaduh. Pohon Jelateng ini daun dan batangnya terdapat bulu-bulu halus yang apabila terkena kulit akan terasa gatal dan panas. Diberitahukan juga bahwa setiap pos ada sumber air bersih. Untuk mengurangi beban berat, aku membawa satu botol kecil yang aku taruh di saku celana dan satu botol besar di dalam tas. Kalau di Gunung Rinjani, bekal air sebanyak itu tidaklah cukup.

Kira-kira pukul 07.30 Wita kami berangkat. Dengan dipandu Om Beck di depan dan anaknya di belakang, kami berjalan beriringan. Kami terkesan begitu masuk hutan, karena terasa masih rimbun dan asri. Wah, bahaya juga kalau jalan setapak saja tidak kelihatan. Kami sempat tersesat beberapa meter. Ternyata Om Beck lupa dengan jalur yang dibuatnya sendiri. Katanya, ada orang lain yang merubahnya. Untung anaknya langsung mengingatkan. Tak lama setelah itu, kami keluar dari ‘hutan’ dan menemui jalan yang bisa dilalui oleh truk. Kami menjumpai bapak-bapak di sebuah rumah. Bapak itu memberikan kami secangkir madu asli untuk diminum. Dengan senang hati sebagian dari kami menyeruput madu itu. Lumayan untuk tenaga sebelum naik gunung. Aku kira rumah itu Pos I, ternyata salah. Rumah itu adalah tempat menampung air bersih dari gunung yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Kami istirahat sebentar di rumah air itu. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Pos I. Medannya tidak sesulit Gunung Rinjani yang langsung menanjak terus. Kami kadang melalui jalan yang datar atau menurun walau sebentar, tapi lumayan untuk menstabilkan nafas yang kembang kempis dan kaki yang pegal-pegal. Tiba-tiba perutku terasa sakit. Wah, ini pasti reaksi dari madu tadi. Kalau madu murni emang gini, langsung bereaksi. Setelah menunaikan ‘hajat’, rasanya lebih segar. Mungkin saja racun-racun di tubuhku kalah sama reaksi madu yang aku minum tadi.

Kira-kira pukul 09.30 akhirnya kami sampai di Pos I. Rasanya senang sekali. Waktunya lebih cepat dari perkiraan semula. Kami istirahat sejenak dan mengambil air bersih di Pos I. Air di Pos I berasal dari mata air yang menyembul dari bawah tanah. Oleh penduduk, mata air itu dibuatkan bak kira-kira setinggi 1 meter dan dibuat pipa yang dialirkan menuju perkampungan penduduk. Aku mengambil langsung air yang menyembul yang sudah difasilitasi sebuah pipa. Kemudian aku minum, rasanya segar sekali. Botol kecilku aku penuhi. Setelah aku tutup, terlihat gelembung-gelembung kecil di dalam botol itu, yang aku yakini bahwa kandungan O2 di air itu sangat banyak. Hal ini tentu saja akan membuat kita terasa segar apabila meminumnya. Karena O2 yang terkandung di dalam air itu akan bercampur dengan darah kita. Apabila darah kita banyak mengandung O2, maka kita akan terasa segar. Aku bayangkan seandainya air seperti ini dijual di kota-kota besar, tentu harganya mahal. Dan benar saja, entah karena sugesti, aku terasa segar dan lebih enak ketika berjalan meninggalkan Pos I menuju Pos II. Yang mengasyikkan dalam perjalanan ini, sepanjang jalan ditumbuhi semak-semak pohon arbei. Meski lebih sering dapet yang masam dan mengambilnya agak sulit karena tangkainya berduri seperti tangkai mawar, tapi sangat menyenangkan ketika berhasil mengambil dan memakannya. Warna buahnya yang merah seakan memberikan kemudahan bagi kami untuk mencarinya diantara rerimbunan semak-semak. Kami saling berebut buah arbei, kadang kami juga saling berbagi. Sungguh mengasyikkan.

Kira-kira pukul 12.00 kami tiba di Pos II dan bertemu dengan rombongan pendaki lainnya yang sudah berangkat mendaki sejak kemarin. Sepertinya mereka menginap disini. Kami istirahat, makan, dan sholat di sini. Terdapat sungai yang mengalir di bawah Pos II. Banyak aktivitas yang dilakukan peserta di sini. Ada yang mandi, sekedar mengambil air, BAB dan BAK. Tentu saja tempat melakukan aktivitas diatur. Paling hulu tempat mengambil air, kemudian tempat berwudhu, tempat mandi dan gosok gigi, dan paling bawah tempat BAB dan BAK. Kira-kira hampir 2 jam kita beraktivitas di Pos II. Lumayan untuk menyegarkan badan.

Tepat jam 13.30 pimpinan rombongan ngasih tanda agar kami siap-siap. Hampir jam 14.00 semua bergerak. Setelah melewati sungai kecil yang ada di pos II, jalan yang harus kami lalui cukup terjal dan licin. Licin karena tanahnya agak gembur dan basah. Hutan yang kami lalui cukup lebat. Banyak tanaman rotan dan sulur-sulur. Malah kami melewati jalan yang diatasnya pepohonan yang menyatu membentuk goa. Tanaman khas puncak gunung sudah mulai terlihat. Aku sebenarnya mengira jangan-jangan sudah mau sampai puncak gunung. Dan tanaman jelateng yang dikatakan Achdiyat di basecamp tadi juga belum terlihat banyak. Aku juga bertanya tanya dalam hati, dimana bisa terlihat puncak gunung Tambora? Yang penting berjalan, berjalan, dan berjalan. Aku sudah sangat letih. Ini disebabkan pantat saya sakit. Entah kenapa aku tidak tahu. Mungkin karena gesekan di selangkangan kaki. Beberapa temen juga keletihan, dan ada yang mulai sakit masuk angin.

Tak terasa kira-kira jam 17.00 kami sampai di Pos III. Nah, itu dia puncaknya! Oh ternyata bukan puncak yang sebenarnya. Tapi pinggir kawahnya. Puncaknya tentu saja belum terlihat. Sudah mulai kelihatan. Ya, Gunung Tambora yang ingin sekali aku memandangnya sejak di Dompu kemarin akhirnya terlihat juga. Aku tersenyum sendiri, untuk memandang gunung Tambora butuh sehari pendakian. Di bawah rerimbunan pohon yang besar dan hembusan angin sepoi-sepoi kami istirahat. Di sana ada berugaq atau saung atau gubuk atau entah apa namanya dalam bahasa Dompu. Dan para pendaki sudah penuh sesak beristirahat di sana. Rata-rata mereka mendirikan tenda. Ya, mereka adalah pendaki yang kami temui di basecamp dua hari yang lalu yang berangkat naik menuju puncak. Kami istirahat cukup lama. Persediaan air sudah menipis. Memang kata panitia di setiap pos ada air. Tapi mata air terdekat di pos III ini sudah keruh. Kata Om Beck, kalau banyak orang begini mereka kadang tanpa aturan ketika mengambil air. Aku mengurungkan niatku mengambil air. Kami berbincang- bincang dengan sesama pendaki. Tampak temenku yang orang Dompu asli Buhri Ramadhan berbincang-bincang dengan beberapa pendaki. Sepertinya mereka para pemimpin rombongan pendaki. Ketika menjelang maghrib, beberapa pendaki berangkat menuju Pos IV. Mereka akan nge-camp di sana. Beberapa dari kami sudah sangat lelah dan tak inigin meneruskan perjalanan sampai puncak. Yang sakit langsung istirahat membuat bivak dan istirahat di atas matras. Setelah sholat maghrib yang dijama’ qosor sholat Isya, kami membaca ma’tsurat bersama-sama. Ada juga yang tidak ikut karena benar-benar tidak kuat lagi berjalan naik. Yang semula mau berangkat jam 02.00, dimajukan jam 00.00. Sebagian besar dari kami istirahat tidur cukup lama, dan jam 23.00 lebih kami dibangunkan oleh Achdiyat. Barang bawaan kami ditinggal di pos III. Kami hanya membawa minuman dan beberapa snack.bersambung