Becanda dengan ikan-ikan di laut bahkan sampai mengelusnya seperti mengelus hewan peliharaan kita di rumah seakan-akan sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi sembari menikmati indahnya terumbu karang di perairan Gili Nanggu.
Memanfaatkan cuti lebaran, tanggal 22 September 2010 lalu saya dan keluarga besar berpetualang di 3 gili. Yaitu Gili Nanggu, Gili Tangkong, dan Gili Kedis. Rencana petualangan ini memang disusun secara mendadak. Justru yang mendadak gini yang meriah. Kakak saya segera memberitahukan relasinya di Sekotong, tempat menyebrang ke Gili Nanggu dan seorang temannya yang memang tinggal di Gili Tangkong. Kita diminta untuk membawa beras, kangkung, dan lauk pauk mentah. Sementara ikan sudah disediakan di Sekotong. Rencananya kita akan makan bersama di Gili Tangkong.
Perjalanan menggunakan 2 mobil, Kijang LGX milik teman saya dan Daihatsu Taruna milik kakak ipar. Selain 3 keluarga, juga anak-anak tetangga kami ajak ikut serta. Kebetulan hari itu mereka pulang cepat karena gurunya mau halal bi halal se-kota Mataram. Jadi semuanya sekitar 15 orang, sudah termasuk anak-anak. Perjalanan dari kota Mataram kira-kira 1,5 jam dengan kecepatan sedang. Saat mau menyebrang, kami menggunakan 2 boat kecil. Tujuan pertama adalah Gili Nanggu.
Gili Nanggu memiliki pasir putih yang lembut seperti tepung. Saat kami tiba, banyak turis mancanegara yang sedang berenang di sana. Tak menunggu waktu lama, setelah menyewa masker dan snorkel, saya langsung menghambur ke pantai dan 'pemanasan' dengan berenang di pinggir-pinggir pantai saja. Meski begitu, puluhan ikan dengan berbagai jenis seakan-akan menyambut kedatangan saya. Indah sekali. Karena di perairan itu tak boleh menangkap ikan, maka ekosistemnya terjaga. Anak-anak yang ikut berenang dengan ban dan pelampung terlihat senang sekali. Orang dewasa yang belum bisa berenang pun saya yakin bisa menikmati, asal menggunakan jaket pelampung.
Saya menghampiri berugaq (saung) tempat menaruh tas dll. Saya ambil botol minuman, lalu diisi dengan roti di dalamnya. Botol yang terisi roti itu saya bawa snorkeling, berenang di permukaan laut. Sambil menikmati indahnya terumbu karang, botol saya buka pelan-pelan. Sebagian isi roti tersembul keluar, dan serta merta ikan-ikan mendekati saya, berusaha memperebutkan roti-roti tadi. Luar biasa. Jumlahnya ada puluhan, dan semuanya mendekati saya. Layaknya binatang peliharaan, saya berusaha mengelus ikan-ikan itu. Saya menyelam, saya mengejar ikan-ikan... sungguh mengasyikkan!
Saya semakin jauh berenang meninggalkan pantai. Ternyata justru semakin dangkal. Batu dan terumbu karang menghampar lebih indah. Di kedalaman kira-kira 5 meter, saya melihat bintang laut berwarna biru. Saya menahan nafas lalu menyelam meraihnya. tangan saya terluka kena batu karang. Saya hanya ingin memperlihatkannya kepada anak saya. "Ini ada patrick berwarna biru!" saya berseru kepada anak saya, Salmaa, yang penggemar film Spongbob Squarepants. Setelah dilihat Salmaa, saya minta bintang laut itu 'dibuang' lagi ke laut, agar tidak mati.
Di Gili Nanggu ini memang terdapat penginapan. Saya tidak tahu berapa tarif menginap per malamnya. Di sana juga terdapat kolam penampungan penyu. Masing-masing kolam terbagi yang dihuni penyu berdasarkan umurnya. Sebagian masih kecil, sepertinya baru menetas dari telurnya, jumlahnya puluhan ekor. Setelah siap, penyu-penyu itu akan dilepaskan ke laut.
Awan hitam pekat terlihat di langit sebelah utara. Kapal ferry yang menyebrang dari Lomkok ke Bali terlihat samar-samar menerjang laut di tengah hujan. Di gili nanggu mulai sedikit gerimis. Kami pun berhenti berenang dan melanjutkan perjalanan ke Gili Tangkong tepat tengah hari.
Salah satu boat yang mengangkut kami tadi ternyata membawa bahan mentah ke Gili Tangkong untuk dimasak di sana. Dengan melewati Gili Sudak, sampailah kami di Gili Tangkong. Hanya ada satu keluarga yang menghuni Gili Tangkong, itu pun hanya suami istri. Mereka belum memiliki anak. Keluarga itu mencukupi hidupnya dengan mengambil hasil tanaman di gili tangkong. Membuat minyak kelapa dengan kelapa yang mereka petik, makan ikan hasil tangkapan, dan buah-buahan yang ada di sana. Serta dapat tips dari tamu yang berkunjung ke sana. Terlihat ikan yang dibawa tadi dibakar dengan serabut kelapa. Dan dari arah dapur nampak kepulan masak nasi dan rebusan kangkung yang akan dibuat plecing. Sambil menunggu masakan matang, kami melakukan sholat dzuhur dan asar yang dijamak. Anak-anak berkejar-kejaran di pantai, sebagian berenang.
Masakan sudah siap. Plecing kangkung pedas, ikan bakar, dan ikan bumbu kuning! Benar-benar mengundang selera makan yang luar biasa. Anak-anak makannya lahap sekali. Salmaa (4 th) habis 2 piring, Miqdad (3 th) habis 3 piring, yang lainnya 1 piring saja dengan volume besar! Kalau mengingat hal ini, rasanya ingin mengulangi momen itu. Hujan gerimis tak menghalangi kebersamaan kami. Sungguh nikmat!
Kami melanjutkan petualangan berikutnya, yaitu ke Gili Kedis. Pulau ini besarnya kurang dari separo lapangan sepak bola. Kecil sekali, tapi memiliki pasir putih yang indah. Saya tak mau berlama-lama di boat. Sesampainya di sana, saya langsung mengambil peralatan snorkeling dan berkeliling mengitarinya. Terumbu karangnya sungguh indah! Bahkan saya menemukan rumput laut yang langsung bisa dimakan! Rasanya? Jangan tanya karena saat itu memang lagi lapar...hehehehe... Anak-anak bermain kaliomang (keong), kerang-kerang yang lepas dari cangkangnya, dan pecahan batu-batu karang yang unik di sepanjang pantai.
Waktu tak terasa mendekati senja, kami pun harus kembali ke Sekotong, tempat penyebrangan tadi. Sayangnya toilet di sana kotor sekali. Para ibu-ibu pun kebingungan mau ganti baju. Setelah masing-masing bersih-bersih diri mengguyur dengan sumur sekedarnya, kami pun melanjutkan perjalanan pulang.
Tertarik dengan petualanagn kami? Sediakan dana 3 juta untuk paket ini dan hubungi guide kami, Abah Mura di 081803615487 (paket untuk 15 orang, termasuk sewa 2 mobil, 2 boat, dan snorkel serta makanan)
Peserta petualangan:
Dewasa: Abah Cia, Mak Ang, Iryadi, Butet, Ita, Oppie, Taufiq, Agus, Leles.
Anak-Anak: Imam (7 th), Kholiq (3 th), Ziyad (7 bulan), Yuda (9 th), Miqdad (3 th), Salmaa (4 th), Syafiq (3 th), Heri (10 th), Anang (9 th).
Kamis, 07 Oktober 2010
Kamis, 08 Juli 2010
Sikap Demokratis Dan Ketegasan Abu Bakar As-Shiddiq
Pengurusan jenazah Rasulullah SAW belum juga selesai. Abu Bakar masih sibuk mengurusi jenazah manusia yang paling mulia itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang utusan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab begitu resah dengan kepemimpinan ummat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Meskipun hanya sebentar, kekosongan kepemimpinan sangat berbahaya. Harus segera dipilih seorang pemimpin kaum Muslimin agar perpecahan tidak semakin meluas. Sehingga ekspansi dakwah yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah sebelumnya dapat terlaksana.
Tapi Abu Bakar menolak utusan itu. Ia lebih memilih untuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW. Tidak mau utusannya datang dengan tangan hampa, Umar bin Khattab sekali lagi meminta Abu Bakar menengahi keresahan kaum Anshor yang telah berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Orang-orang Anshor bermaksud mengangkat seorang pemimpin diantara mereka dan mempersilakan kaum Muhajirin mengangkat seorang pemimpin pula. Kondisi ini disadari sangat berbahaya. Abu Bakar mendatangi mereka dan dengan kata-kata yang lembut ia menenangkan kaum Anshor yang ingin mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin mereka. Hubab bin Munzir terus menerus membakar semangat kaum Anshor untuk mendukung dualisme kepemimpinan. Kondisi semakin memanas tatkala Umar bin Khattab bersikeras harus ada satu pemimpin saja. Tidak mungkin ada dua kemudi dalam satu perahu. Hubab bin Munzir semakin panas dan mengancam akan memulai peperangan atau kaum Muhajirin harus hengkang dari Madinah.
Kondisi yang semakin panas ini akhirnya ditengahi oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. “Saudara-saudara Anshar, Kalian adalah orang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang menjadi orang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan!”. Kata-kata itu mampu meredakan mereka. Akhirnya seorang pemimpin Khazraj bergabung dengan Muhajirin. Hal ini membuat kaum Anshor tidak lagi seia sekata.
Abu Bakar memperkirakan kondisi sudah reda dan saatnya mengambil sebuah keputusan. Seraya mengingatkan agar jangan ada perpecahan, ia mengangkat tangan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah seraya berkata, “ Ini Umar dan ini Abu Ubaidah. Berikan ikrar kepada yang mana saja yang kalian sukai.” Abu Bakar melakukan sikap demokratis di tengah ketegangan antara Anshor dan Muhajirin. Apakah sikap Abu Bakar ini dipersalahkan? Tak satu pun yang membantah saat itu. Memilih satu diantara dua sahabat terbaik Rasulullah SAW akan dilakukan, tapi Umar bin Khattab segera menyergahnya. Ia meminta Abu Bakar membentangkan tangan seraya mengatakan bahwa karena Rasulullah memilih Abu Bakar untuk memimpin sholat, dialah orang yang paling disukai Rasul SAW. Kemudian Abu Ubaidah memberikan ikrar karena Abu Bakar adalah orang yang menemani Rasul SAW saat Hijrah. Setelah itu berturut-turut semua orang yang ada di Saqifah secara aklamasi membai’at Abu bakar sebagai pemimpin, kecuali Sa’ad bin Ubadah.
Islam bukan tidak mengenal demokrasi. Islam bukan tidak mengenal pemungutan suara. Tetapi kesatuan ummat adalah yang utama. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa terjadi, tetapi perpecahan harus dihindarkan. Sikap Abu Bakar yang menginginkan pemungutan suara untuk memilih pemimpin antara Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah adalah bukti, meskipun justru secara aklamasi memlih Abu Bakar sendiri sebagai pemimpin karena memang ia dianggap sahabat yang paling disukai oleh Rasulullah SAW, manusia yang paling mereka cintai. Bahkan sebenarnya Abu Bakar tidak menginginkan dirinya sebagai khalifah. Tapi menyadari permasalahan kepemimpinan sangat dibutuhkan, akhirnya ia bersedia membentangkan tangan untuk dibaiat oleh Umar bin Khattab.
Sikap demokratis Abu Bakar bukan berarti sikap ketidaktegasan seorang pemimpin.
Sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau telah mempersiapkan ekspedisi ke Syam untuk menghadapi pasukan Romawi yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Penunjukan Usamah bin Zaid ini sebenarnya tidak disukai oleh beberapa kaum Anshor karena Usamah bin Zaid masih sangat muda. Ketidaksukaan ini masih terbawa ketika Abu Bakar sebagai khalifah akan meneruskan ekspedisi itu. Umar bin Khattab membawa pesan kaum Anshor kepada Amirul Mukminin. Tetapi jawaban Khalifah, “Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil Rasulullah SAW!”. Dan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid pun berangkat, yang didalamnya terdapat sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor.
Abu Bakar bertindak sangat keras terhadap para pengemplang zakat. Ketika akan memeranginya, Umar bin Khattab protes dengan alasan bahwa barangsiapa yang telah mengucapkan syahadatain, maka darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alas an yang dikembalikan kepada Allah. Abu Bakar membantahnya bahwa urusan Sholat tidak bisa dipisahkan dengan urusan zakat. Dan orang yang memisahkan keduanya wajib diperangi. Akhirnya Abu Bakar berhasil menghadapi para penolak zakat, dan Umar pun mengakuinya.
Hebatnya, persahabatan keduanya tidak pernah luntur meski dengan perbedaan pandangan mengenai sesuatu hal.
Menurut Imam Hasan Al Banna, Khilaf dalam masalah fiqih furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat tentu mengandung pelajaran yang sangat berharga terhadap masing-masing pendapat.
Wallahu a’lam bisshawwab…
Johar, 7 Juli 2010
Rabu, 02 Juni 2010
Ekspedisi Gunung Tanpa Nama
Tlogodingo memang kampung yang menawan di kaki Gunung Lawu. Terletak persis sebelum Cemoro Sewu, basecamp naik ke Gunung Lawu. Masyarakatnya hidup dari pertanian dan menggembala ternak. Kampung paling ujung Timur provinsi jawa Tengah ini hampir setiap hari diselimuti kabut. Dingin luar biasa. Masyarakatnya bercocok tanam strawberry, terong, wortel, kol, bahkan ada satu petak tanah yang ditanami bunga edelweis! Keramahan orang-orang di sana menambah kesejukan bagi siapa pun yang berkunjung. Ditambah hidangan buah strawberry segar yang baru dipetik. Menambah suasana semakin adem ayem...
Di sebelah selatan kampung Tlogodingo terdapat bukit yang menjulang, tingginya kurang lebih 2100 mdpl. Vegetasi bukit dan kontur tanah cukup beragam. Ada hutan basah, semak belukar, ilalang, dan hutan buatan di sisi baratnya. Tak heran hutan di sekitar gunung tanpa nama ini sering digunakan para pecinta alam untuk melaksanakan Diksar. Yang paling sering adalah sebuah tempat di timur kaki gunung yang dinamakan Mrutu. Karena di tempat ini banyak sekali mrutu yang siap membuat gatal orang yang nge-camp di tempat itu. Mrutu adalah semacam serangga kecil yang beterbangan dan suka hinggap di kulit manusia.
Kami ber-13 berniat melakukan softrack ke gunung itu. Dimulai dengan melakukan perjalanan dari arah barat gunung tanpa nama. melewati ladang wortel, kol, dan strawberry serta beberapa sungai kecil yang mengalir dari arah gunung. Terkadang melewati jalan-jalan yang cukup terjal. Lalu melewati hutan pinus dan tanaman paku-pakuan yang lebat mengelilinginya. Kira-kira 2 jam perjalanan tidak menemukan jalan yang sangat terjal dan semua jalan cukup lebar. Setelah istirahat sebentar di sebuah pos untuk melaksanakan sholat dzuhur dan asar, kami melanjutkan perjalanan. Setelah pos itu track mulai menanjak. Vegetasi masih berupa pohon-pohon yang tidak begitu lebat, sampai kira-kira satu jam perjalanan kami mulai menemukan jenis-jenis pohon yang hanya ada di puncak-puncak gunung. Gunung-gunung kecil di sekitar Gunung Lawu tampak sangat jelas. Kabut-kabut yang berbaris tertiup angin menambah indahnya pemandangan. Sejenak kami berhenti di sana. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Semak-semak ilalang menemani perjalanan kami di kanan kiri. Pohon-pohon besar sudah mulai jarang. Semak-semak yang cukup lebat sampai setinggi di atas kepala menyebabkan jalan setapak tak begitu jelas terlihat. Perlu hati-hati karena kanan kiri adalah jurang. Akhirnya, kami sampai juga di puncak gunung tanpa nama. Karena hari menjelang sore, kami memutuskan untuk nge-camp di sana sekalian. Sebenarnya agak kurang yakin nge-camp di sana, tapi karena komandan meminta ngecamp, ya kami harus menurut.
Kami lalu melepas ransel dan mempersiapkan diri mendirikan tenda. Hujan rintik-rintik karena kabut yang melewati puncak gunung mulai terasa. Tiba-tiba, "bresss......" Hujan cukup lebat membasahi kami yang sedang mendirikan tenda. Tenda belum berdiri sempurna. Padahal seluruh isi tas sudah kami keluarkan. Meski kami berusaha menyelamatkan barang bawaan kami agar tak nea hujan, semua tetap basah kuyup, termasuk sleeping bag sebagai benteng terakhir agar kami bisa tidur nyenyak. Hujan mulai rintik-rintik, kami memperbaiki tenda yang belum berdiri dengan sempurna.
Setelah hujan reda, kami pun keluar dari tenda. Menikmati siluet jingga di ufuk barat senja itu, mencari-cari sang mentari seakan ingin mengucap selamat jalan. Tapi hanya bayangan jingga yang terlihat karena tertutup awan dan kabut. Ingin mengambil fotonya, tapi dingin dan basah membuat saya enggan melakukannya. Setelah sholat maghrib dan Isya, kami menyaksikan pemandangan malam di bawah sana yang tampak indah. Mulai gemerlap kota Solo dan Karanganyar yang nampak dari kejauhan, serta di sisi timur nampak gemerlap kabupaten magetan Jawa Timur. pemandangan itu silih berganti hilang karena kabut yang kadang melintasi sekitar gunung.
Setelah itu kami istirahat dengan berbasah-basahan. Mencoba menghangatkan dengan membuat perapian pun gagal. Karena hampir tidak ada sesuatu yang bisa dibakar kecuali sampah plastik kami. itu pun hanya bertahan sebentar. Kami langsung masuk ke tenda untuk istirahat. Teman-teman banyak yang tidak bisa istirahat karena basah. Alhamdulillah saya bisa tidur. Celana yang basah saya lepas dan langsung masuk ke sleeping bag yang ternyata hanya separo bagiannya basah kena hujan tadi. Lumayan lah ada bagian yang kering. Diiringi gemeretak suara gigi teman-teman yang kedinginan serta suara ngorok mereka, ditambah suara nafas salah seorang teman yang tidak tahan Oksigen tipis, melengkapi istirahat malam itu. Saya memainkan pikiran bahwa mereka baik-baik saja, meski tadi ada yang kram. Sehingga saya pun bisa tidur dengan nyaman (meski tidak nyenyak).
Tengah malam kami melanjutkan perjalanan turun. Setelah melewati semak-semak ilalang dengan jalan yang sempit, kami melewati track menurun yang sangat terjal dan licin. Tak jarang kami harus merambat pelan saat menuruni tarck itu, kalau tidak ingin terperosok ke jurang.
Saat sedang menuruni jalan yang terjal itu, tiba-tiba terdengar suara "kreeeekkkk...!".. Sebuah batang pohon patah. Batang pohon itu berguling di jalan yang terjal, lalu mengenai 4 orang teman kami. Salah satu dari teman sampai pingsan. Seorang dokter dalam tim langsung melakukan P3K. Dia mengalami patah di tulang punggung di belakang leher. Pohon itu patah padahal tak ada angin yang berhembus kencang.
Sebuah cobaan yang berat bagi kami. Mungkin itu peringatan Allah. Dengan menggunakan sarung dan tongkat yang dijadikan dragbar, kami melakukan evakuasi yang cukup sulit. Medan yang terjal, licin, berair, dan sempit harus kami lalui. Alhamdulillah kami sampai di Mrutu keesokan harinya. Perjalanan dari puncak sampai ke bawah tadi normalnya dilakukan selama 2-3 jam. Tapi karena harus melakukan evakuasi, kami melakukannya sampai kira-kira 6 jam baru sampai di pos mrutu. Ambulance sudah disiapkan di Tlogodingo untuk membawa teman kami ke Rumah Sakit di Solo.
Meski dibalut dengan perasaan sedih, kami mengakhiri ekspedisi di gunung tanpa nama dengan mengambil hikmah atas semua peristiwa.
Hidangan strawberry segar pun tak kuasa kami tolak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga.
Tlogodingo, 29-30 Mei 2010
Selasa, 11 Mei 2010
Give her for 'me time'
"Berangkat aja cy.." kataku menepis keraguannya.
Istriku ingin sekali pulang kampung, karena ada temannya yang menikah. Sebenarnya bukan semata-mata ingin menghadiri pernikahan temannya. Tapi bertemu dengan keluarga besar adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Kakak-kakak, keponakan, dan tentunya bapak dan ibu. Dari 8 bersaudara, semuanya ngumpul di Lombok, kecuali istriku yang tinggal di Semarang bersamaku.
"Itung-itung itu untuk me time cy..." sekali lagi aku menguatkannya.
"Terus anak-anak gimana?" tanyanya kepadaku.
"Biarlah anak-anak InsyaAllah aman sama Abi" tambahku meyakinkannya.
Sebenarnya aku juga punya keinginan kuat untuk liburan ke Lombok. Tapi situasi kantor yang tidak memungkinkan untuk cuti sehingga mengurungkan niat kami untuk pulang ke Lombok awal Mei ini.
Bagi sebagian orang, 'me time' identik dengan perawatan diri, creambath, mandi sauna, dll. Tapi saya kasih waktu untuk istri bertemu dengan teman-teman sekolahnya dulu. Harapan saya untuk menyegarkan diantara suntuknya pekerjaan rutin yang tiada habisnya. Saya masih meyakini liburan itu penting. Untuk siapa saja. Dan ini giliran istri saya.
Selama ditinggal 2 hari ke Lombok, memang agak berat mengatur anak-anak. Karena selama ini anak-anak tergantung sama umminya. Tapi bukan berarti saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Justru saya ingin mengambil kesempatan ini untuk lebih dekat dengan anak-anak, terutama Syafiq. Karena dia lebih dekat sama umminya, dan segala sesuatu harus dilakukan sama umminya.
Yang paling berat adalah ketika Syafiq bangun tidur. Dia pasti menanyakan keberadaan umminya. Memandikan, menyuapi, nyiapin perlengkapan sekolah Salmaa, bukan lah pekerjaan sulit bagi saya.
Jauh di seberang sana umminya ngasih kabar kalau sedang menikmati 'kuliner' masakan ibu mertua saya. Lalu berkumpul sama temen-teman sekolahnya dulu, bersendau gurau layaknya masih bujangan. Saya memang mendorong kondisi seperti ini. Saya memberikan waktu untuk memanjakan otak sejenak. Dan saya pun ingin melatih kesabaran dengan meng-handle penuh tingkah polah anak-anak.
"Cy, ummi dipanggil diklat.." kata istriku. "...yowis cy, berangkat aja.." kataku kepadanya sambil tetap tersenyum, meski berat rasanya ditinggal seminggu. Karena aku tidak ingin menambah beban pikiran istriku yang sudah berat meninggalkan anak-anak untuk diklat di Jakarta selama seminggu.
Semoga Allah swt mempermudah urusan kita semua...
Langganan:
Postingan (Atom)