Kamis, 08 Juli 2010

Sikap Demokratis Dan Ketegasan Abu Bakar As-Shiddiq


Pengurusan jenazah Rasulullah SAW belum juga selesai. Abu Bakar masih sibuk mengurusi jenazah manusia yang paling mulia itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang utusan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab begitu resah dengan kepemimpinan ummat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Meskipun hanya sebentar, kekosongan kepemimpinan sangat berbahaya. Harus segera dipilih seorang pemimpin kaum Muslimin agar perpecahan tidak semakin meluas. Sehingga ekspansi dakwah yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah sebelumnya dapat terlaksana.

Tapi Abu Bakar menolak utusan itu. Ia lebih memilih untuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW. Tidak mau utusannya datang dengan tangan hampa, Umar bin Khattab sekali lagi meminta Abu Bakar menengahi keresahan kaum Anshor yang telah berkumpul di Saqifah Banu Sa’idah. Orang-orang Anshor bermaksud mengangkat seorang pemimpin diantara mereka dan mempersilakan kaum Muhajirin mengangkat seorang pemimpin pula. Kondisi ini disadari sangat berbahaya. Abu Bakar mendatangi mereka dan dengan kata-kata yang lembut ia menenangkan kaum Anshor yang ingin mengangkat Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin mereka. Hubab bin Munzir terus menerus membakar semangat kaum Anshor untuk mendukung dualisme kepemimpinan. Kondisi semakin memanas tatkala Umar bin Khattab bersikeras harus ada satu pemimpin saja. Tidak mungkin ada dua kemudi dalam satu perahu. Hubab bin Munzir semakin panas dan mengancam akan memulai peperangan atau kaum Muhajirin harus hengkang dari Madinah.

Kondisi yang semakin panas ini akhirnya ditengahi oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. “Saudara-saudara Anshar, Kalian adalah orang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang menjadi orang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan!”. Kata-kata itu mampu meredakan mereka. Akhirnya seorang pemimpin Khazraj bergabung dengan Muhajirin. Hal ini membuat kaum Anshor tidak lagi seia sekata.

Abu Bakar memperkirakan kondisi sudah reda dan saatnya mengambil sebuah keputusan. Seraya mengingatkan agar jangan ada perpecahan, ia mengangkat tangan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah seraya berkata, “ Ini Umar dan ini Abu Ubaidah. Berikan ikrar kepada yang mana saja yang kalian sukai.” Abu Bakar melakukan sikap demokratis di tengah ketegangan antara Anshor dan Muhajirin. Apakah sikap Abu Bakar ini dipersalahkan? Tak satu pun yang membantah saat itu. Memilih satu diantara dua sahabat terbaik Rasulullah SAW akan dilakukan, tapi Umar bin Khattab segera menyergahnya. Ia meminta Abu Bakar membentangkan tangan seraya mengatakan bahwa karena Rasulullah memilih Abu Bakar untuk memimpin sholat, dialah orang yang paling disukai Rasul SAW. Kemudian Abu Ubaidah memberikan ikrar karena Abu Bakar adalah orang yang menemani Rasul SAW saat Hijrah. Setelah itu berturut-turut semua orang yang ada di Saqifah secara aklamasi membai’at Abu bakar sebagai pemimpin, kecuali Sa’ad bin Ubadah.

Islam bukan tidak mengenal demokrasi. Islam bukan tidak mengenal pemungutan suara. Tetapi kesatuan ummat adalah yang utama. Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa terjadi, tetapi perpecahan harus dihindarkan. Sikap Abu Bakar yang menginginkan pemungutan suara untuk memilih pemimpin antara Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah adalah bukti, meskipun justru secara aklamasi memlih Abu Bakar sendiri sebagai pemimpin karena memang ia dianggap sahabat yang paling disukai oleh Rasulullah SAW, manusia yang paling mereka cintai. Bahkan sebenarnya Abu Bakar tidak menginginkan dirinya sebagai khalifah. Tapi menyadari permasalahan kepemimpinan sangat dibutuhkan, akhirnya ia bersedia membentangkan tangan untuk dibaiat oleh Umar bin Khattab.

Sikap demokratis Abu Bakar bukan berarti sikap ketidaktegasan seorang pemimpin.

Sebelum Rasulullah SAW wafat, beliau telah mempersiapkan ekspedisi ke Syam untuk menghadapi pasukan Romawi yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Penunjukan Usamah bin Zaid ini sebenarnya tidak disukai oleh beberapa kaum Anshor karena Usamah bin Zaid masih sangat muda. Ketidaksukaan ini masih terbawa ketika Abu Bakar sebagai khalifah akan meneruskan ekspedisi itu. Umar bin Khattab membawa pesan kaum Anshor kepada Amirul Mukminin. Tetapi jawaban Khalifah, “Sekiranya saya yang akan disergap anjing dan serigala, saya tidak akan mundur dari keputusan yang sudah diambil Rasulullah SAW!”. Dan pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid pun berangkat, yang didalamnya terdapat sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor.

Abu Bakar bertindak sangat keras terhadap para pengemplang zakat. Ketika akan memeranginya, Umar bin Khattab protes dengan alasan bahwa barangsiapa yang telah mengucapkan syahadatain, maka darah dan hartanya dijamin, kecuali dengan alas an yang dikembalikan kepada Allah. Abu Bakar membantahnya bahwa urusan Sholat tidak bisa dipisahkan dengan urusan zakat. Dan orang yang memisahkan keduanya wajib diperangi. Akhirnya Abu Bakar berhasil menghadapi para penolak zakat, dan Umar pun mengakuinya.

Hebatnya, persahabatan keduanya tidak pernah luntur meski dengan perbedaan pandangan mengenai sesuatu hal.
Menurut Imam Hasan Al Banna, Khilaf dalam masalah fiqih furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap perbedaan yang terjadi di kalangan sahabat tentu mengandung pelajaran yang sangat berharga terhadap masing-masing pendapat.

Wallahu a’lam bisshawwab…
Johar, 7 Juli 2010