Kamis, 12 November 2009

Anak Kecil di Lampu Merah

Lampu merah Tugu Muda Semarang pukul lima sore. Wajahnya lusuh tapi tidak begitu kotor. Bajunya kusam tapi warnanya tidak buram. Badannya masih terlihat segar, kulitnya tidak menampakkan warna yang setiap hari menantang matahari di siang hari. Dia menggendong seorang bocah mungil kira-kira berusia 2 tahun. Bocah itu kulitnya tidak legam benar. Dari wajah keduanya, tidak ada kemiripan wajah. Meragukan untuk langsung meng-klaim bahwa wanita itu ibu kandung si anak.

Ketika Lampu menunjukkan warna merah, wanita itu mendatangai satu per satu pintu mobil yang berhenti. Bau asap kendaraan bermotor tak dihiraukannya. Seperti halnay dia tak menghiraukan seberapa banyak gas beracun yang terhirup oleh anak yang digendongnya. Sembari menjulurkan tangan menampakkan muka memelas, sesekali memperbaiki gendongan untuk menjaga agar si anak tidak jatuh. Sesekali terlihat juluran tangan dari kaca mobil memberi beberapa receh atau lembaran berwarna biru kehijau-hijauan. Kemudian wanita itu membungkukkan badan mengucapkan terima kasih sementara si anak diam tak peduli.

Wanita itu mendekatiku sembari menjulurkan tangannya kepadaku. Aku melampaikan tanganku kepadanya, tanda aku tak memberinya uang. Bukan aku tak kasihan. Justru aku sangat kasihan kepada mereka. Terlebih kepada sang anak yang digendongnya. Seraya aku ingin protes kepada sang wanita, mengapa si anak diajak juga? Bisa jadi anak itu memang anaknya. Tapi dari kisah-kisah yang beredar, rasanya saya tdak percaya kalau anak itu adalah benar-benar anaknya.

Seperti biasa, Ibu Asih (sebut saja begitu) menjalankan tugasnya sebagai auditor pemerintah. Dia bermaksud mendatangi sebuah perusahaan yang akan diauitnya. Alangkah kagetnya ketika berhenti di Lampu merah, dilihatnya seorang anak yang mirip dengan anaknya tengah digendong oleh seorang wanita yang meinta belas kasihan dari para pengendara kendaraan. Bu Asih keluar dan ternyata anak itu benar-benar anaknya! Ternyata anaknya disewakan kepada seorang peminta-minta oleh pembantunya. Sebagai seorang wanita karir, dia tidak sempat ngecek rumah pada saat jam kerja.

Lain kisah Bu Asih, lain pula kisah Bu Siti. Bu Siti memang mempunyai masalah ekonomi. Suaminya yang bekerja serabutan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetangga Bu Siti heran, dari pagi sampai sore anaknya tak pernah kelihatan di rumah. Katanya anaknya itu dititipin ke bibinya. Suatu saat sebuah stasiun TV lokal menanyangkan fenomena peminta-minta ini. Alangkah kagetnya para tetangga ketika dilihatnya anak Bu Siti digendong oleh peminta-minta di kawasan Sipanglima Semarang. Bu Siti akhirnya mengaku, anaknya disewakan kepada peminta-minta, sehari dia memperoleh upan Rp 25.000 dari peminta-minta itu. Na'udzubillah min dzalik,,,

Ketika saya tidak mau memberi para peminta-minta yang menggendong seorang anak, bukan berarti saya tidak berbelas kasihan kepada mereka. Saya hanya tidak ingin turut mensukseskan profesi peminta-minta yang meminta belas kasihan dengan mengorbankan seorang anak.

3 komentar:

Faiz_Izzudin mengatakan...

nice post gan...
btw...nggak ada buku tamunya ya?

^_^

tovicsky mengatakan...

makasih gan dah mampir,,,, masih belajar bikin layout,,,, bersediakah ngajari diriku?

Faiz_Izzudin mengatakan...

hehehehehehe, klo lay out mah ama mas ichank, dulu juga saya belajar dari beliau....^_^
atau kunjungi ini bro...

http://kolom-tutorial.blogspot.com/

disitu banyak tutorial ngeblog, dari bikin sampe ngrubah template dan mainin HTML....