Jumat, 20 November 2009

AWAS KUWALAT!

Gus Dur mengunjungi sebuah kampung. Ada orang yang tidak suka padanya dan mengolok-oloknya karena memiliki cacat mata. Tentu Gus Dur tidak mengetahui hal ini dan karena itu tidak marah. Tetapi ada diantara orang yang mendengar olok-olok bernada menghina tersebut memperingatkan agar berhati-hati karena bisa kualat. Orang ini dengan bersemangat tetap mengolok-olok kekurangan Gus Dur. Tak lama berselang, ia bepergian dan sebelum sampai di tempat, ia mengalami musibah kecelakaan. Tubuhnya nyaris tak terkena luka apa pun kecuali satu yang tak dapat ia selamatkan: mata.

Peristiwa itu segera saja menjadi pembicaraan, "Jangan macam-macam pada Gus Dur, nanti kualat. Gus Dur itu seorang wali!" Ucapan ini seperti bertuah, banyak yang percaya bahwa Gus Dur memang seorang wali. Sesungguhnya Gus Dur adalah seorang wali: wali murid bagi anak-anaknya, dan untuk urusan nikah, Gus Dur adalah wali nashab bagi putrinya.

Kita perlu membedakan antara af'al Allah dan af'al manusia. Sejauh berkenaan dengan af'al (perbuatan) manusia, kita dapat mengkritik, mengecam, atau mengolok-olok, meski seharusnya tetap mengetahui adab-adabnya. Tetapi bila sudah menyangkut af'al Allah, tak ada satu pun dari kita yang berhak menyalahkan atau mengejeknya, meskipun menurut pandangan kita buruk. Anda boleh saja mengkritik pendapat sayan mencemooh tulisan saya, maupun mencela tindakan saya. Lepas dari soal tanggung jawab kepada Allah, tindakan mencela saya masih dapat diterima karena menyangkut af'al manusia. Yaitu apa yang saya kerjakan sebagai manusia, baik yang bersifat pemikiran maupun perbuatan. Akan tetapi, anda tidak boleh mencela tubuh saya sebab itu sepenuhnya merupakan af'al Allah sebagai pencipta. Saya tidak ikut merencanakan bentuk mata saya, rambut, serta hal-hal lain di luar kekuasaan saya. Apabila anda menghina bibir saya, kemudian anda mengalami musibah yang membuat bibir anda menjadi jontor, yang demikian bukan kualat kepada saya. Tetapi anda membuat Allah murka karena merendahkan af'al-Nya, memperolok apa yang telah diperbuat Allah atas diri saya. Bukan karena mencemooh saya.

Jangan mengolok-olok, nanti kualat kepada Allah, repot khan?

Sumber: "Agar Cinta Bersemi Indah" karya Mohammad Fauzil Adhim

Selasa, 17 November 2009

2012

Berawal dari ramalan suku Maya, yang didukung ramalan dari sebuah suku Mesir Kuno, bahwa tahun 2012 akan terjadi kiamat! Lalu diamini oleh Mama Lauren di Indonesia, dan diikuti oleh paranormal lain, sampai dibuat khusus di sms premiun. Jadilah opini publik bahwa 2012 benar-benar terjadi kiamat. Lebih tepatnya tanggal 12-12-2012. Lalu muncul film 2012 (twenty twelve) yang menggambarkan kiamat tahun 2012. Publik yang kadung teracuni opini kiamat 2012 sontak penasaran akan film itu. Antri tiket seperti ular saat tayang di bioskop berbagai kota di Indonesia. Bahkan sampai beberapa orang pingsan karena lelah mengantri. Dan film 2012 jadi box office,,,,

Pro kontra boleh tidaknya nonton film besutan Hollywood itu bermunculan. MUI Malang melarang umat Islam nonton 2012, sementara MUI pusat tidak melarangnya. FPI bahkan melakukan sweeping film 2012. Demo penentangan bermunculan, bahkan aksinya dilakukan anak-anak SD Islam.

Mengapa mereka mengkhawatirkan film itu? Tidak lain adalah kemusyrikan yang timbul apabila kita mempercayai kiamat 2012. Karena menyangkut akidah, yang kontra akan film itu begitu ngotot. Bukan tanpa sebab, dosa musyrik adalah dosa tak berampun. Kalau percaya akan ramalan kiamat bakal terjadi 2012, tak pelak bahwa kemusyrikan sudah tumbuh di hati. Inilah yang ditakutkan yang kontra akan penanyangan film 2012. Bisa jadi ini adalah teori konspirasi belaka. Fakta-fakta ilmiah terjadinya badai matahari di lapisan atmosfer matahari pun banyak dibahas.

Bagi sebagian orang biasa-biasa saja. Karena itu hanyalah film animasi belaka, tak lebih. Muatan cerita di film tak perlu dipercayai. Inilah yang menyebabkan beberapa ulama tidak mengkhawatirkan tayangan 2012.

Justru yang saya takutkan adalah, orang-orang yang mengecam ulama. Ada ulama yang berpendapat film 2012 haram untuk ditonton. Kemudian ada orang yang mengecam pendapat ulama tersebut. Ini yang berbahaya. Pendapat ulama akan hal ini tidak melanggar syari'ah, karena hukum menonton film asalnya adalah mubah. Dan pendapat ulama ini bukan tanpa dasar. Kita harus hormati meskipun mungkin berbeda pandangan dengan pendapat ulama tersebut. Ulama waritsatul Anbiya, ulama adalah pewaris Nabi.
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.”

Jadi tidak perlu memperdebatkan masalah film 2012. Yang terpenting adalah jangan pernah mempercayai ramalan tersebut dan jangan sekali-kali menghujat ulama yang melarang tayangan film 2012.

Johar 18 September 2009.

Senin, 16 November 2009

Muharrik vs Kholil Mustami'

Terkenang kata-kata seorang ustadz beberapa tahun silam, "Silakan kalau antum ingin menjadi seseorang yang disebut kholil mustami', yang berarti 'pendengar yang kekal'...."

Maksud dari sang ustadz adalah sebuah pilihan hidup. Kita hanya sebagai pendengar, pengikut setia, penyimak rangkaian kata, penikmat ilmu hanya untuk diri sendiri. Memang sangat enak, aman, nyaman, dan tenang. Tak diganggu suatu apa pun, dan tak mengganggu eksistensi siapapun. Pendengar setia dari kajian satu ke kajian lain, majelis satu ke majelis lain, nikmat, sungguh menikmati sebuah ilmu.

Berbeda dengan seorang muharrik, dia adalah penggerak sebuah aktivitas, pionir dalam penyelesaian masalah, tali dari sebuah gasing dan genset (pinjam istilah mas ichanx).

Tanpa ada mental Muharrik, tak mungkin sebagian besar daratan Eropa takluk di tangan Islam dalam kurun waktu kurang dari 1 Abad, tak mungkin Jerusalem terengkuh, tak mungkin Bumi Nusantara menjadi Negeri Muslim terbesar dunia saat ini. Perjuangan Umar bin Khattab, Shalahuddin Al Ayyubi, dan para Wali Songo dilandasi dengan mental Muharrik, bukan Kholil Mustami'.

Muharrik adalah agen perubahan. Yang paling mudah kita lakukan adalah penggerak di keluarga dan lingkungan kita. Apakah kita menjadi rujukan di keluarga dan kampung kita,atau menjadi sumber masalah? Atau menjadi orang alim di kampung kita tapi tidak mempunyai sumbangsih untuk orang lain?

Terlalu mengada-ada bila membandingkan kita dengan Shalahuddin Al Ayyubi atau Wali Songo. Tetapi itulah kerangka global kita dalam berfikir, lalu kita gerakkan tali genset kita ke kampung atau kantor kita. Dan gerakan kita pun akan memberikan energi pergerakan di sekitar kita; keluarga, kantor, dan kampung....

Selamat menjadi penggerak!

Kamis, 12 November 2009

Anak Kecil di Lampu Merah

Lampu merah Tugu Muda Semarang pukul lima sore. Wajahnya lusuh tapi tidak begitu kotor. Bajunya kusam tapi warnanya tidak buram. Badannya masih terlihat segar, kulitnya tidak menampakkan warna yang setiap hari menantang matahari di siang hari. Dia menggendong seorang bocah mungil kira-kira berusia 2 tahun. Bocah itu kulitnya tidak legam benar. Dari wajah keduanya, tidak ada kemiripan wajah. Meragukan untuk langsung meng-klaim bahwa wanita itu ibu kandung si anak.

Ketika Lampu menunjukkan warna merah, wanita itu mendatangai satu per satu pintu mobil yang berhenti. Bau asap kendaraan bermotor tak dihiraukannya. Seperti halnay dia tak menghiraukan seberapa banyak gas beracun yang terhirup oleh anak yang digendongnya. Sembari menjulurkan tangan menampakkan muka memelas, sesekali memperbaiki gendongan untuk menjaga agar si anak tidak jatuh. Sesekali terlihat juluran tangan dari kaca mobil memberi beberapa receh atau lembaran berwarna biru kehijau-hijauan. Kemudian wanita itu membungkukkan badan mengucapkan terima kasih sementara si anak diam tak peduli.

Wanita itu mendekatiku sembari menjulurkan tangannya kepadaku. Aku melampaikan tanganku kepadanya, tanda aku tak memberinya uang. Bukan aku tak kasihan. Justru aku sangat kasihan kepada mereka. Terlebih kepada sang anak yang digendongnya. Seraya aku ingin protes kepada sang wanita, mengapa si anak diajak juga? Bisa jadi anak itu memang anaknya. Tapi dari kisah-kisah yang beredar, rasanya saya tdak percaya kalau anak itu adalah benar-benar anaknya.

Seperti biasa, Ibu Asih (sebut saja begitu) menjalankan tugasnya sebagai auditor pemerintah. Dia bermaksud mendatangi sebuah perusahaan yang akan diauitnya. Alangkah kagetnya ketika berhenti di Lampu merah, dilihatnya seorang anak yang mirip dengan anaknya tengah digendong oleh seorang wanita yang meinta belas kasihan dari para pengendara kendaraan. Bu Asih keluar dan ternyata anak itu benar-benar anaknya! Ternyata anaknya disewakan kepada seorang peminta-minta oleh pembantunya. Sebagai seorang wanita karir, dia tidak sempat ngecek rumah pada saat jam kerja.

Lain kisah Bu Asih, lain pula kisah Bu Siti. Bu Siti memang mempunyai masalah ekonomi. Suaminya yang bekerja serabutan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetangga Bu Siti heran, dari pagi sampai sore anaknya tak pernah kelihatan di rumah. Katanya anaknya itu dititipin ke bibinya. Suatu saat sebuah stasiun TV lokal menanyangkan fenomena peminta-minta ini. Alangkah kagetnya para tetangga ketika dilihatnya anak Bu Siti digendong oleh peminta-minta di kawasan Sipanglima Semarang. Bu Siti akhirnya mengaku, anaknya disewakan kepada peminta-minta, sehari dia memperoleh upan Rp 25.000 dari peminta-minta itu. Na'udzubillah min dzalik,,,

Ketika saya tidak mau memberi para peminta-minta yang menggendong seorang anak, bukan berarti saya tidak berbelas kasihan kepada mereka. Saya hanya tidak ingin turut mensukseskan profesi peminta-minta yang meminta belas kasihan dengan mengorbankan seorang anak.

Senin, 09 November 2009

Dimensi "Kesulitan"

Adakah diantara kita yang hidupnya lancar-lancar saja tanpa pernah mengalami kesulitan sedikit pun? Atau selalu mempunyai perasaan senang terus tanpa merasa sulit? Atau tak pernah mengalami rasa takut baik sedikit atau sangat? Kalau kita manusia normal, pasti selama akil baligh kita pernah merasakan sesuatu yang tak enak, takut, dan merasa sulit.

Pada peperangan Uhud, Abu Salamah mengalami cedera yang cukup parah. Ketika masih dirawat isterinya, Abu Salamah berkata bahwa dia mendengar Rasulullah sallallahu 'alayhi wasallam bersabda, "barang siapa yang ditimpa musibah, hendaklah dia menyebut istirja' (Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un), dan berdoa, 'Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang melanda diriku, dan berilah ganti yang lebih baik', maka pasti Allah akan mengkaruniakan sesuatu yang lebih baik." Akhirnya Abu Salamah meninggal dunia akibat cedera yang dialaminya, dan tinggallah Ummu Salamah bersama anak-anak mereka di Madinah.

Ummu Salamah teringat kembali akan kata-kata suaminya, sering melafazkan istirja' dan doa tersebut. Hanya saja dia seringkali tidak dapat meneruskan lafaz 'berilah ganti yang lebih baik', dan jika disebut juga lafaz tersebut, dia akan terkenang almarhum suaminya, karena baginya siapakah lelaki yang dapat menjadi suami yang lebih baik daripada Abu Salamah. Segala kesusahan yang pernah mereka alami tatkala awal-awal memeluk Islam, ditambah dengan kebahagiaan mereka di Madinah menguatkan lagi rasa cinta Ummu Salamah kepada suaminya. Akhirnya berkat doa Ummu Salamah tersebut Allah mengkaruniakan Ummu Salamah seorang suami yang akhirnya diakui lebih baik dari Abu Salamah. Siapakah lelaki itu? Tidak lain adalah Rasulullah sallallahu 'alayhi wasallam sendiri.

Musibah bukan hanya sebuah kematian. Termasuk rasa takut, khawatir akan terjadinya sesuatu, kekurangan makanan, dan kehilangan harta benda. Semua itu adalah termasuk dalam kategori musibah. Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 155: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit katakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar."

Mengapa Allah memberikan rasa takut atau musibah lain kepada kita? Bagi seorang yang beriman, tentu rasa itu bisa menambah keimanan kita kepada Allah SWT. Beda dengan orang yang tidak beriman. Yang ada hanya rasa putus asa, menyalahkan orang lain atau diri sendiri, terpuruk, serta tindakan reaktif yang justru merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Musibah sudah melanda. Hanya ada 2 pilihan: Kita bersandar kepada Allah atau bersandar kepada selain Allah. Apabila kita bersandar kepada Allah maka kita akan mendapat pahala atas kesabaran tatkala kita ditimpa musibah. Tetapi apabila bersandar selain kepada Allah yang dibuktikan dengan sikap apatis, mencaci maki, dan terpuruk, maka kita akan mendapatkan keterpurukan dan musibah itu sendiri. Dalam QS. Al Mulk ayat 1-2: "Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun"


Ketika Allah menguji kita, bukan berarti Allah tidak memberikan solusi untuk kita. Bagi orang yang beriman, musibah berupa kesulitan ini merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dia akan berdoa meminta kepada-Nya. Berdoalah maka akan Aku kabulkan, demikian janji Allah. Solusi tersebut termaktub dalam QS Al Insyirah (Alam Nasyrah) ayat 5-8: Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Apakah ketika kita sedang dilanda rasa takut atau khawatir, kita akan melafazkan istirja'?